SINOPSIS
Memasuki 61 tahun hubungan bilateral AS – RI, 1949 – 2010: Dari saat pengakuan AS terhadap RI pasca Konferensi Meja Bundar (1949) hingga penandatanganan Comprehensive Partnership Agreement (2010)
dari perspektif Amerika Serikat
KEPENTINGAN NASIONAL: SEBUAH TEORI UNIVERSAL
DAN PENERAPANNYA OLEH AMERIKA SERIKAT
DI INDONESIA
Studi Kasus: Timor Timur dan Pasca Serangan Teroris 11 September 2001
Kehadiran AS di Nusantara secara de facto
dilakukan sejak 1910 dalam mana para pengusaha AS bermitra dengan
pengusaha Belanda menanamkan investasi dibidang perkebunan karet.
Selanjutnya diikuti dengan masuknya investasi dibidang explorasi minyak
bumi tahun 1920 dengan masuknya Standar Vacuum serta pada tahun 1935 disusul oleh perusahaan minyak lainnya yaitu Standard Vacuum of California (Socal).
Secara de jure/formal
hubungan bilateral AS – RI, dilakukan pada tahun 1949 dengan pengakuan
AS terhadap RI pada tanggal 28 Desember 1949, setelah berakhirnya
Konferensi Meja Bundar yang difasilitasi oleh AS. Sejak saat itu
berbagai bantuan ekonomi dan militer diberikan. Secara khusus untuk
bantuan militer yang dikemas dalam bentuk U.S. Security Assistance diberikan berupa peralatan kepolisian/militer yang dikenal sebagai US MAP (U.S. Military Assistance Program). Bantuan selanjutnya diberikan melalui program IMET (International Military Education Training) dan program pengadaan peralatan militer dan suku cadang secara G to G melalui program FMS (Foreign Military Sales) dalam bentuk soft loan credit.
Hubungan
AS – RI sempat mengalami pasang surut yang pada dasarnya berkaitan
dengan adanya benturan kepentingan nasional kedua belah pihak. Pada saat
kepentingan nasional berjalan seirama maka hubungan kedua belah akan
berjalan serasi, namun manakala kepentingan nasional kedua belah pihak
saling berbenturan U.S. Security Assistance dihentikan (embargo).
Keserasian
kepentingan nasional kedua belah pihak nampak nyata pada saat era
Perang Dingin, dimana di satu sisi AS berusaha membendung penyebaran
komunis Soviet dengan kebijakan pembendungan (policy of containment),
di sisi lain Indonesia juga menghadapi penyebaran komunis yang berupaya
merombak dasar negara Pancasila dengan ajaran komunisme, sehingga US Security Assistance diberikan secara intensif termasuk dukungan AS terhadap penyatuan Timor Timur ke dalam wilayah NKRI.
Benturan
kepentingan nasional antara kedua belah pihak diawali dengan peristiwa
Santa Cruz (1991), dimana Indonesia dipersalahkan oleh komunitas
internasional melakukan pelanggaran HAM pada saat melakukan tindakan
represif terhadap para demonstran. Benturan kepentingan kembali terjadi
pasca jajak pendapat Timor Timur (1999). Hal ini kemudian telah mengubah
kebijakan AS yang tidak lagi mendukung integrasi Timor Timur ke dalam
wilayah NKRI, hingga akhirnya terlepas.
Amerika
kembali mendekati Indonesia paska serangan teroris 11 September 2001,
dimana AS mengeluarkan doktrin Bush yang salah satu butir diantaranya AS
memandang perlu untuk menyebarkan demokrasi di dunia muslim. Indonesia
yang kemudian dinilai telah berkembang sebagai negara demokrasi terbesar
ketiga dengan mayoritas berpenduduk muslim, dinilai tepat untuk diajak
bersama-sama memerangi teroris yang dilakukan oleh kelompok Islam garis
keras/radikal. US Security Assistance kembali diintensifkan yang ditandai dengan pencabutan embargo 2005.
U.S. Security Assistance yang pada dasarnya merupakan manifestasi atau derivatif dari policy of containment diberikan untuk meningkatkan capacity building dibidang security kepada
Indonesia, dalam mana berbagai kepentingan ekonomi AS ada didalamnya,
yaitu meliputi berbagai investasi dibidang pertambangan (energi dan
mineral) serta investasi dalam berbagai bentuk lainnya. US Security Assistance yang diberikan kepada Indonesia berupa: (1) US MAP (US Military Assistance Program) yang pada saat ini diubah menjadi US FMF (US Foreign Military Financing) yaitu bantuan hibah IMSS (Integrated Maritime Surveillance System) Proyek 1206; (2) IMET (International Military Education Training); dan FMS (Foreign Military Sales).
Persoalan pelanggaran HAM berat Timor Timur paska jajak pendapat telah diakhiri dengan telah berakhirnya masa tugas The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia – Timor Leste (Maret 2008), yang
rekomendasinya telah ditindak lanjuti oleh kedua belah pihak. Hasil
rekomendasi kerja CTF Indonesia – Timor Leste diberi judul Per Memoriam AD Spem yang berarti “melewati kenangan (suram) menuju harapan (indah).”
Tujuan
pembentukan Komisi ini adalah semata-mata untuk pembelajaran bagi kedua
bangsa bahwa suatu penyelesaian pertikaian melalui perang saudara telah
membawa akibat buruk bagi kedua belah pihak. Dari pembelajaran tersebut
kedua bangsa bertekad untuk melakukan pembenahan hubungan bilateral
secara damai dan bermartabat. Dan untuk itu ditegaskan, apapun hasil
kerja komisi ini akan diterima oleh kedua belah pihak dengan lapang dada
untuk dijadikan landasan dalam upaya rekonsiliasi kedua bangsa, dan
bukan untuk dijadikan sebagai dasar/alat penuntutan peradilan (termasuk international tribunal).
Dalam proses normalisasi hubungan AS – Indonesia, khususnya military to military relationship (mil – to – mil), sejak tahun 2002 secara reguler telah diadakan Indonesia – US Security Dialog
(IUSSD) oleh Kementerian Pertahanan kedua belah pihak, yang hingga pada
saat ini (2010) telah terselenggara 8 kali. Dari kegiatan tersebut
kedua belah pihak memandang perlu untuk menyusun Defence Cooperation Agreement
(DCA) AS – RI yang akan dijadikan sebagai payung hukum terhadap
berbagai kegiatan kerjasama yang telah terselenggara selama ini. Draft
DCA pada saat ini tengah dalam proses pembahasan intensif antara sfaf
Direktorat Kerjasama Internasional Ditjen Strahan Kementerian Pertahanan
dan staf Kedubes AS. Pada saat buku ini diterbitkan mungkin DCA
tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua belah pihak
atau yang mewakili.
Kunjungan
presiden Barack Obama ke Indonesia pada medio Maret 2010 dimaksudkan
untuk meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara. Bersama
dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kedua kepala pemerintahan
tersebut manandatangani sebuah kesepatan untuk membangun kemitraan
komprehensif (Comprehensive Partnership Agreement atau Joint Declaration on Comprehensive Partnership). Penandatanganan agreement atau joint declaration ini
diharapkan memulai babak baru dalam memasuki 61 tahun jalinan hubungan
bilateral diantara kedua belah pihak, utamanya hubungan mil – to – mil yang selama ini masih terganjal oleh adanya US Human Right Vetting Policy.