Sabtu, 01 Agustus 2009

Kepentingan Nasional

Sebuah Teori Universal
dan Penerapannya oleh AS di Indonesia



KEPENTINGAN NASIONAL: SEBUAH TEORI UNIVERSAL
DAN PENERAPANNYA OLEH AMERIKA SERIKAT
DI INDONESIA

(II)

Martinus Siswanto Prajogo



Abstract

East Timor is one of the arenas for U.S. foreign policy implementation. This matter seemed when Indonesia began to integrate the territorial to Republic of Indonesia, the U.S. Government fully supported both politically and security assistance. But when Ramos Horta – who supported by East Timor Action Network (ETAN) that based in the USA – struggle for East Timor independence, the U.S. Government gave widely opportunities for the released of East Timor from Republic of Indonesia. This situation occurred due to there was a changing on U.S. foreign policy in dealing with global threat and challenging which oriented to its national security.
Key words:
Foreign policy, security assistance, global threat and challenge, national security.
1. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat: Latar Belakang dan Implementasinya
2. Integrasi Timor Timor kedalam NKRI

Adanya keselarasan kepentingan nasional kedua belah pihak membuat AS memberikan dukungan dalam bentuk security assistance yang merupakan dukungan politis sekaligus dalam bentuk dukungan perlengkapan militer. U.S. Security Assistance yang diberikan kepada negara-negara berkembang pada dasarnya diberikan dalam rangka penerapan kebijakan pembendungan (policy of containment). Kebijakan ini pada dasarnya merupakan perpaduan dari doktrin pembendungan (containment doctrin)[1] dan modifikasi program bantuan Marshall Plan.[2] Dalam mekanismenya U.S. Security Assistance dilakukan melalui prosedur dalam mana bantuan dimaksud diusulkan oleh Pemerintah – yang dalam hal ini oleh U.S. Department of Defense – kepada komisi hubungan luar negeri Kongres AS. Salah satu persyaratan pokok yang ditetapkan oleh Kongres adalah bahwa bantuan keamanan tersebut benar-benar digunakan dalam rangka membantu negara berkembang yang berjuang melawan komunisme. Persyaratan pokok lainnya adalah U.S. Security Assistance tidak akan diberikan kepada negara-negara yang diindikasikan terlibat pelanggaran HAM. Adapun security assistance yang diberikan meliputi program-program International Military Education Training (IMET), Foreign Military Sales (FMS), dan Military Assistance Program (MAP)
Dalam kaitan bantuan keamanan Amerika yang diberikan kepada Indonesia, tidak terlepas dari hal-hal tersebut di atas. Bila diperhatikan secara kilas balik, bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia melalui perjanjian Hatta-Cochran yang ditandatangani secara rahasia pada 15 Agustus 1950 yang kemudian memunculkan Cochran Affair[3], merupakan implementasi dari permintaan bantuan kepolisian RI kepada Amerika pada saat meletusnya pemberontakan PKI Madiun 1948. Deplu AS semula ingin memanfaatkan permintaan bantuan ini dengan perjanjian yang lebih mengikat, khususnya dalam hal kerjasama keamanan untuk membendung pengaruh komunis baik di Indonesia maupun Asia Tenggara. Dengan adanya politik bebas aktif yang dianut Indonesia maka kemudian Cochran memodifikasi rumusan yang dibuat oleh Deplu AS menjadi rumusan yang lebih lunak sebagaimana perjanjian Hatta-Cochran yang telah ditandatangi tersebut. Dari sisi ini terlihat adanya upaya bargaining antara kedua belah pihak dalam mendapatkan win-win solution bagi kepentingan bersama tanpa mengesampingkan kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Kepentingan bersama yang membawa pada suatu kesepakatan bersama pada saat itu adalah dalam rangka membendung pengaruh/ancaman komunis global bagi AS di satu sisi, dan upaya Hatta untuk membendung pengaruh/ancaman komunis dalam pemerintahan Soekarno di sisi lain. Hatta dan Cochran melakukan kesepakatan rahasia karena tidak ingin kesepakatan ini diketahui oleh para pimpinan PKI yang telah berhasil mempengaruhi pemikiran dan kebijakan Soekarno.
Bantuan selanjutnya yang diminta oleh Indonesia kepada Amerika adalah pada tahun 1957 yang akan digunakan untuk memperkuat TNI dengan adanya kekhawatiran semakin meluasnya pengaruh PKI pasca pemilihan umum 1955, yang mana PKI menempati posisi ketiga terbesar setelah PNI dan Masyumi. Perolehan suara PKI mencapai 16,4%, sementara PNI dan Masyumi masing-masing 22,3% dan 20,9%. Perolehan suara PKI ini menyebabkan komposisi di Parlemen meningkat lebih dari 2 kali lipat.[4] Dengan demikian dukungan komunis terhadap Soekarno semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi aksi komunis lebih lanjut dengan semakin menguatnya komunis di legislatif, yang dikhawatirkan akan semakin berani melakukan aksi-aksinya, Indonesia – dalam hal ini TNI – merasa perlu meminta dukungan Amerika untuk memperkuat posisinya. Pada tahun 1958 bantuan militer untuk Indonesia didukung US$7,3 juta dan pada tahun fiskal 1959 dan 1960 terjadi peningkatan dukungan bantuan militer sebesar masing-masing US$22 juta[5].
Bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia ini tidak terlepas dari adanya kekhawatiran yang juga semakin meningkat dari pihak AS. Kekhawatiran yang berlebihan ini bahkan membuat Amerika melakukan tindakan yang tidak terpuji, pada tahun 1958 AS mengerahkan operasi rahasia yang dilakukan oleh CIA dalam rangka mendukung aksi anti-komunis yang dilakukan oleh Perdana Menteri PRRI Syaifrudin Prawira Negara yang berusaha menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang dinilai pro-komunis. Dubes AS di Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Allison menyatakan pengunduran dirinya karena tidak mendukung kebijakan yang diambil oleh Menlu Dulles yang ingin menjatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno.[6]
Dari skenario tersebut di atas nampaknya Amerika tidak sabar untuk segera menerapkan strategi regime change terhadap Soekarno. Sementara doktrin TNI AD yang ditanamkan oleh Jenderal Soedirman untuk membela pemerintahan sipil yang sah, benar-benar dipegang teguh oleh KASAD Jenderal Nasution, yang tidak bergeming manakala Menlu Dulles membujuknya untuk mendukung tindakan makar ini. Bahkan kemudian Jenderal Nasution menjalankan kewenangan komandonya untuk memadamkan pemerontakan PRRI di Sumatra dan pemberontakan Permesta di Manado yang juga ditunggangi oleh agen-agen CIA.
Dari situasi ini juga nampak bahwa bantuan militer Amerika yang diberikan kepada TNI pada tahun 1958 dalam rangka mengantisipasi aksi komunis telah diberikan oleh Amerika karena adanya kekhawatiran yang sama atas akibat buruk yang mungkin ditimbulkan oleh komunis Indonesia. Hanya saja, sayangnya Amerika mengambil langkah yang sangat gegabah meskipun secara strategi, penerapan usaha melalui regime change tidak menyalahi kebijakan politik luar negerinya, yang menggambarkan doktrin maximalis yang ingin diterapkan.
Pada tahun 1975 pemerintah Indonesia mulai resah dengan masalah Timor Timur dan memutuskan untuk mendukung kelompok pro-integrasi yang menentang kemerdekaan Timor Timur yang digagas oleh Partai Komunis Fretilin. Untuk itu Indonesia melakukan persiapan untuk melakukan penyerangan ke Timor Timur, dalam persiapan serangan ini, Indonesia tidak ingin melakukannya secara gegabah. Presiden Soeharto yang berpengalaman sebagai Panglima Mandala pembebasan Irian Jaya tentunya memahami betul konsekuensi yang akan timbul apabila aksi ini dilakukan sendirian. Pada saat tersebut Amerika yang memiliki kepentingan yang sama dalam pembendungan komunis menjadi suatu pilihan utama untuk diajak berkonsultasi dan meminta dukungan baik secara politis maupun bantuan militer.
Upaya Indonesia melakukan pendekatan kepada AS ditanggapi secara positif dengan kunjungan singkat Presiden Gerald Ford yang disertai oleh Menlu Henry Kissinger. Setelah Amerika memberikan dukungannya maka dengan tidak ada keraguan lagi, Indonesia melakukan serangan atas Timor Timur, guna menjatuhkan regime komunis yang dideklarasikan secara sepihak oleh Fretilin. Serangan Indonesia dilakukan pada 7 Desember 1975 hanya selang sembilan hari setelah pernyataan kemerdekaan Timor Timur. Meskipun sebenarnya Kissinger menyatakan agar Indonesia tidak menggunakan persenjataan Amerika, nampaknya Amerika tidak mencegah ketika senjata-senjata buatannya digunakan oleh pasukan Indonesia. Pernyataan Kissinger ini nampaknya hanya sebuah pernyataan diplomatis agar pemerintah AS tidak disalahkan oleh Kongres. Bahkan tampaknya Kongres AS pada saat itu juga tidak begitu keberatan atas dukungan politik dan bantuan militer pemerintahnya yang diberikan kepada Indonesia. Hal ini dapat disimak dari adanya suatu pernyataan:
When reports were received that some U.S.arms might have been used, military assistance deliveries were quitetly withheld for several months. At least one key senator was informed of third fact, but the matter did not become a public issue either in Congres or in bilateral relationship.[7]
Bahkan dalam kunjungan Presiden Ford dan Menlu Henry Kissinger, kemudian juga terungkap – setelah dirahasiakan selama beberapa tahun – adanya dukungan politis AS pada saat Indonesia menyiapkan penyerangan ke Timor Timur. Dalam kunjungan 2 hari di Jakarta tercatat adanya perbincangan antara Presiden Ford yang didampingi oleh Menlu Kissinger dengan Presiden Soeharto tentang permintaan Indonesia agar AS bersedia memahami rencana penyerangan ke Timor Timur. Presiden Ford menyatakan, “we will understand and will not press you on the issue, we understand the problem you have and the intentions you have.” Selanjutnya diikuti oleh tanggapan yang disampaikan oleh Kissinger, “you appreciate that the use of US-made arms could create problem.”[8]
Dalam pembicaraan selanjutnya terungkap tentang permintaan AS agar serangan Indonesia atas Timor Timur dilakukan setelah Presiden Ford kembali ketanah air. Dan menjelang akhir pembicaraannya Presiden Soeharto berjanji bahwa tindakannya akan didasarkan pada hukum yang berlaku dan menjamin untuk tidak akan membahayakan kepentingan ekonomi Amerika. Menanggapi hal ini Kissinger menyatakan penghargaannya dan Presiden Ford sekali lagi menyatakan jaminannya bahwa AS memahami situasi ini, meskipun kemudian disusul dengan pernyataan bahwa ia tidak merekomendasikan apapun.[9] Sebuah pernyataan diplomatis yang menunjukkan kearifannya sebagai seorang negarawan yang berusaha bersikap netral, dalam arti ia tidak ingin sikapnya ini mengakibatkan terjadinya polemik didalam negeri bagi dukungannya terhadap Presiden Soeharto.
sampai jumpa pada tulisan lanjutannya ....
3. Pelepasan Timor Timor dari NKRI
4. Kesimpulan
Untuk sementara klik dulu:

[1] Containment Doctrin merupakan bagian dari kebijakan luar negeri AS yang diterapkan pada era Perang Dingin, dimana AS berupaya membendung pengaruh komunis yang disebarkan oleh Soviet. Penyebaran komunis bagi AS merupakan musuh demokrasi yang harus diperangi. Doktrin ini lahir (1947) pada saat pemerintahan Presiden Harry Truman, dimana doktrin ini disarankan oleh George Kenan – seorang diplomat yang pernah bertugas di Soviet, yang kemudian menjadi pejabat Deplu bidang perencanaan kebijakan.
[2] Marshall Plan merupakan program bantuan ekonomi yang awalnya dirancang bagi negara-negara Eropa Barat yang ditujukan untuk pembenahan sektor industri yang hancur akibat terjadinya PD II.
[3] Cochran Affair adalah sebuah peristiwa yang telah mempermalukan pemerintah AS, yang disebabkan oleh terungkapnya sebuah perjanjian rahasia antara Dubes AS (H Merle Cochran) dan Hatta berupa pemberian bantuan kepolisian/peralatan militer yang dikenal dengan U.S. Military Assistance Program (US MAP). Perjanjian tersebut pada saat diungkap oleh Kabinet Sukiman untuk memperoleh persetujuan/ratifikasi Parlemen Indonesia ternyata ditolak. Istilah Cochran Affair dimunculkan oleh Ida Anak Agung Gde Agung yang menjabat Menlu RI pada tahun 1955 – 1956, dan dikutip dari tulisan Timo Kivimaki dalam bukunya yang berjudul US-Indonesian Hegemonic Bargaining Strength of Weakness: US Foreign Policy and Conflict in the Islamic World (London: Ashgate, 2003, halaman 107 – 108).
[4] Paul F. Gardner, Shared Hopes Separate Fears: Fifty Years of U.S.-Indonesian Relation (Boulder, Colorado: Westview Press, 1997), 246.
[5] Ibid., 163.
[6] Timo Kivimaki, US-Indonesian Hegemonic Bargaining Strength of Weakness: US Foreign Policy and Conflict in the Islamic World (London: Ashgate, 2003), 114 – 115.
[7] Paul G. Gardner., op.cit., 286
[8] William Burr and Michael L. Evans, ed., “Telegram US Embassy Jakarta to Secretary of State,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, paragraf 42 – 43 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 .
[9] Ibid., paragraf 59.

Silakan klik:

http://www.asiakita.com/Siswanto1