DAN PENERAPANNYA OLEH AMERIKA SERIKAT
DI INDONESIA
(I)
Martinus Siswanto Prajogo
Abstract
East Timor is one of the arenas for U.S. foreign policy implementation. This matter seemed when Indonesia began to integrate the territorial to Republic of Indonesia, the U.S. Government fully supported both politically and security assistance. But when Ramos Horta – who supported by East Timor Action Network (ETAN) that based in the USA – struggle for East Timor independence, the U.S. Government gave widely opportunities for the released of East Timor from Republic of Indonesia. This situation occurred due to there was a changing on U.S. foreign policy in dealing with global threat and challenging which oriented to its national security.
Foreign policy, security assistance, global threat and challenge, national security.
1. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat: Latar Belakang dan Implementasinya
Dalam sejarahnya, AS yang pernah terlibat dalam perang saudara yang sangat menyakitkan dan juga sebagai negara pemenang perang dunia I dan II, sangat memperhatikan keamanan didalam negerinya (U.S. Homeland Security). Untuk menjaga keamanan tersebut AS menerapkan politik luar negeri ekspansionis, yang merupakan perwujudan doktrin maksimalisme:
Pada kenyataannya adalah bahwa maksimalisme bukan suatu pemikiran baru dalam sejarah politik Amerika. Pemikiran ini menekankan pada pencapaian tuntutan dilakukan baik secara langsung atau revolusioner, tanpa kompromi. Suatu kebijakan politik dipola mencapai terobosan strategis guna mentransformasikan suatu situasi yang mampu menopang pengaruh Amerika secara berkesinambungan.[1]
Pernyataan tersebut di atas dapat ditelusuri dari sejarah Amerika, bahwa politik ekspansionis ini pada dasarnya telah diterapkan sejak dari terbentuknya cikal bakal bangsa tersebut (John Winthrop dengan the city upon a hill) hingga terbentuknya negara (declaration of independence). Dan politik ekspansionis ini nampaknya tidak akan pernah berhenti bahkan hingga detik ini dan mungkin hingga masa yang akan datang.
Semangat ekspansionis bangsa Amerika yang ditunjukkan oleh John Winthrop dengan kotbahnya yang terkenal the city upon a hill tampak ketika Winthrop sebagai tokoh Puritan ingin mengembangkan kebebasan menjalankan ibadah agama didunia baru. Dengan mengantongi “charter” dari Raja Charles, ia melakukan pelayaran dengan kapal Arbella ke Dunia Baru sebagaimana yang tertera dalam tulisan yang dikompilasi oleh Paul Lauter (editor):
… The charter, which granted the Massachusetts Bay Company the right to settle in New England, is unique in that no provision was made for a designated meeting place for the administration of the Company, thus freeing it to establish a government in New England. The Company was lucky to have been granted such a liberal charter, …[2]
Pada tahun 1629, Winthop telah membentuk pemerintahan baru, ditempat baru (New England) dengan komunitas orang-orang Puritan yang berjumlah sekitar 400 orang. Untuk memotivasi para pengikutnya Winthrop dalam pelayaran diatas kapal Arbella memberikan kotbah model ajaran Kristiani (A Model of Christian Charity) yang kemudian dikenal sebagai “the city upon a hill.” Inti dari kotbah tersebut adalah mengajak para pengikutnya untuk berlayar menuju tempat baru seperti yang difirmankan Allah kepada umat Israel. Ditempat baru tersebut Allah menjanjikan kemuliaan dan kesejahteraan bagi umatnya. Dengan kotbah tersebut Wintrop telah menanamkan sebuah motivasi atau “imagi” kepada pengikutnya untuk membangun sebuah kota diatas bukit yang berarti sebuah tantangan untuk membangun kejayaan yang akan memancar keseluruh negeri yang berada dibawah bukit dimana kota tersebut akan dibangun. Dan dengan imagi tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu justifikasi dalam kegiatan ekspansi yang pertama kali dilakukan oleh cikal bakal bangsa Amerika dengan semangat frontirnya yang pantang menyerah.
Sementara ajaran ekspansi yang bisa ditarik dari semangat awal kemerdekaan (declaration of independence) adalah rumusan deklarasi kemerdekaan Jefferson yang mengadopsi teori kontrak pemerintahan ajaran John Locke sebagaimana dinyatakan oleh Tindall:
…, was an eloquent restatement of John Locke’s contract theory of government, the theory in Jefferson’s words that governments derived “their just Powers from the consent of the people,” who were entitled to “alter or abolish” those which denied their “unalienable right” to “life, Liberty, and the pursuit of Happiness.”…[3]
Dengan rumusan teks deklarasi kemerdekaan tersebut “the founding father” bangsa Amerika yang secara turun temurun mewarisi “imagi” sebagaimana yang telah ditanamkan oleh Winthrop telah meletakkan dasar-dasar bagi bangsa baru Amerika dengan hak-hak “hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.” Dengan dasar-dasar inilah para pemimpin bangsa Amerika dari generasi ke generasi mencari peluang untuk mengejar kebahagian kemanapun berada yang kemudian melahirkan suatu ajaran ekspansionisme yang hebat “manifest destiny.”[4]
Bermula dari ekspansi teritorial kemudian berlanjut dengan ekspansi ekonomi demi menyejahterakan rakyatnya. Selanjutnya untuk mengamankan apa yang telah diperoleh dari hasil-hasil ekspansi sebelumnya, maka AS berupaya untuk melakukan ekspansi demokrasi. AS meyakini manakala demokrasi dapat disebarkan dan diterapkan diseluruh dunia, maka dunia akan aman dan damai, sehingga akan berdampak bagi terjaminnya keamanan didalam negerinya.
Dalam menjalankan politik luar negeri melalui penyebaran demokrasi, AS meluncurkan program-program bantuan kepada negara-negara berkembang, termasuk bantuan keamanan. Salah satu program bantuan keamanan dimaksud adalah U.S. Security Assistance. Dengan penyebaran demokrasi keseluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh semangat manifest destiny, maka persoalan kepentingan nasional AS adalah identik dengan kepentingan globalnya.
Dengan demikian bangsa Amerika memandang bahwa kepentingan nasional adalah terutama ditujukan untuk memberikan rasa aman bagi warganegaranya. Dan oleh karena itulah keamanan nasional merupakan bagian utama dari kepentingan nasionalnya. Keamanan nasional tersebut benar-benar dijaga. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan nasional adalah dengan cara ekspansi atau membuka hubungan kerjasama dengan negara-negara lain dalam mengupayakan terciptanya dunia yang aman, damai, dan sejahtera.
Bila kita perhatikan, kepentingan nasional AS dijalankan sesuai dengan konsep-konsep yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli hubungan internasional yang mendefinisikan bahwa kepentingan nasional suatu bangsa akan terkait erat dengan masalah internal dan masalah eksternal. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan tentang konsep kepentingan nasional sebagai berikut: The concept of the national interest, then, contains two elements, one that is logically required and in that sense necessary, and one that is variable and determined by circumstances.[5]
Dengan demikian konsep kepentingan nasional menurut Morgenthau pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia. Sementara Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa tujuan dari sebuah negara dalam rangka mencapai kepentingan nasional adalah:
The State should promote the internal welfare of its citizens, provide for defense against external aggression, and preserve the state’s values and way of life. … No country can long afford to pursue its own welfare in ways that reduce the security and welfare of its competitor. [6]
Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa kepentingan nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya didasarkan pada upaya meningkatkan kesejahteraan internal bagi setiap warganegaranya, menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar, dan melindungi nilai-nilai negara dan cara hidup. Lebih jauh mereka juga menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah negara dapat mencapai kepentingan nasionalnya dengan mengurangi keamanan dan kesejahteraannya terhadap kompetitornya. Dan untuk mencapai tujuan nasional seperti yang diharapkan maka setiap negara harus mengkaitkan kepentingan nasionalnya melalui upaya kerjasama dengan banyak bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan keamanan global.
Terkait hal tersebut di atas setiap negara selalu berupaya melakukan kerjasama dengan negara lain, baik dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral. Untuk merealisasikan kerjasama tersebut diperlukan kebijakan luar negeri yang dimaksudkan sebagai alat diplomasi dalam rangka menjamin dan mengembangkan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian terdapat kaitan yang sangat erat antara kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri suatu negara.
Dalam konteks ini dua orang peneliti kebijakan luar negeri menarik korelasi yang begitu erat dengan kepentingan nasional, antara lain dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara sudah seharusnya didasarkan pada beberapa sumber yang mengacu pada berbagai bentuk kepentingan nasionalnya. Dalam tulisan mereka disebutkan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara yang paling pokok adalah didasarkan pada kepentingan nasional yang dianggap fundamental (mutlak). Jenis kepentingan nasional yang dianggap mutlak tersebut adalah kelangsungan hidup (survival) bangsa tersebut dan integritas wilayah nasionalnya. The most fundamental of source foreign policy objectives is perhaps the universally shared desire to insure the survival and territorial integrity of the community and state.[7] Atau dengan kata lain, keamanan nasional ditempatkan pada skala prioritas yang paling tinggi.
Selanjutnya kebijakan luar negeri harus didasarkan pula pada sumber kepentingan nasional lainnya yang dianggap sangat penting (vital). Kepentingan nasional yang termasuk dalam kelompok ini adalah kepentingan nasional terkait dengan kepentingan ekonomi bangsa tersebut dan dalam upaya penerapan sistem demokrasi yang mampu mengakomodasi kepentingan individu maupun kelompok ekonomi/bisnis.
… the most important set of domestic sources of foreign policy are the economic needs of the community. … It is important to emphasize that economic needs are fundamental sources of a state’s foreign policy. … there are strong pressures generated in the state’s political system to satisfy individual or group economic needs through foreign policy. [8]
Selanjutnya kebijakan luar negeri suatu negara seyogianya juga didasarkan pada sumber kepentingan nasional lainnya yang sifatnya tidak begitu signifikan. Dengan kata lain kepentingan nasional seperti ini lebih bersifat sebagai pendukung. Yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah yang menyangkut upaya memelihara akar budaya dan ideologi sebagai indentitas yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan dalam percaturan internasional dan perhatian bangsa tersebut terhadap terciptanya perdamaian dunia sebagai kewajiban moral yang harus dipenuhi.
Another major domestic sources of foreign policy is what we might call the political needs of a state and its leader… Still another major domestic sources of foreign policy is the cultural, psychological, and/or ideological needs of the state for prestige and status in the world: identity or meaning in life, needs for fulfillment of religious or sacred ideological imperatives, need to follow moral principles of fulfill obligation… [9]
Bagaimana sejatinya Amerika Serikat menyikapi hubungannya dengan Indonesia dikaitkan dengan kepentingan nasionalnya? Menarik untuk dicermati, khususnya dalam kaitan dengan dukungan AS dan sekaligus ditariknya dukungan AS terhadap Indonesia terkait dengan peristiwa Timor Timur. Dapat dikatakan bahwa Timor Timur menjadi salah satu arena bagi penerapan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Hal ini tampak pada saat Indonesia mulai mengintegrasikan wilayah tersebut ke NKRI, pemerintah AS memberikan dukungan penuh, baik politis maupun security assistance. Namun ketika tokoh komunis Ramos Horta – yang didukung oleh East Timor Action Network (ETAN) yang berbasis di AS – memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur, pemerintah AS memberi peluang yang sangat luas bagi lepasnya Timor Timur dari NKRI. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan kebijakan AS dalam menghadapi ancaman dan tantangan global yang berientasi pada keamanan nasionalnya. Situasi sebagaimana tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari nilai “pragmatisme” Amerika, yang acap kali menimbulkan kontroversi dalam percaturan politik internasional.
… Pragmatisme Amerika secara politis sejiwa dengan azas demokrasi liberal yang juga memiliki ciri-ciri yang selaras dengan orientasi pragmatisme, yakni azas manfaat. Agaknya demokrasi liberal Amerika memberikan tempat bagi pragmatisme sehingga menampilkan cara perilaku yang inkonsisten dan penuh paradok.[10]
2. Integrasi Timor Timur kedalam NKRI
3. Pelepasan Timor Timur dari NKRI
4. Kesimpulan
Tunggu tulisan lanjutannya ...
Silakan klik:
http://www.asiakita.com/Siswanto1
[1] Alfian Muthalib, “Politik Luar Negeri Maksimalis Amerika,” Nation, PPSN, vol. 5, no. 1 (2008): 111.
[2] Nicholas D. Romber, Jr., “John Winthrop 1588 – 1649, ” in The Heath Anthology of American Literature, vol.1, 2nd ed, ed. Paul Lauter (Lexington: D.C. Heath and Company, 1994), 224.
[3] George Brown Tindall, America a Narative History, vol.1 (New York, London: W.W.Norton & Company, 1984), 201.
[4] Tentang ajaran ekspansionis “manifest destiny,” Tindall dalam buku America A Narative History pada halaman 512 antara lain menyatakan bahwa pada tahun 1845 John Louis O’Sulivan, editor the United States Magazine and Democratic Review, memberikan istilah “Manifest Destiny” bagi semangat juang kaum penjelajah yang bergerak dari wilayah Timur ke wilayah Barat benua Amerika (Westward Movement).
[5] Hans J. Morgenthau, “Another “Great Debate”: The National Interest of the United States,” in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasquest (New Jersey: Prentice Hall, 1966), 147.
[6] Charles J. Kegley and Eugene R. Wittkopf, World Trend and Transformation Politics, 8th ed (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001), 653 – 54.
[7] Keith R. Legg and James F. Marison, “The Formulation of Foreign Policy,” in Perspective on World Politics, 2nd ed, ed. Richard Little & Michael Smith (London: Croom Helm in association with Open University Press, 1992), 62.
[8] Ibid.
[9] Ibid., 62-63.
[10] Albernine Minderop, Pragmatisme Amerika: Di Bawah Bayang-bayang C. Pierce, W. James, J. Dewey (Jakarta: Obor, 2005), 105.